BUDAYA ORGANISASI
Sebagian
para ahli seperti Stephen P. Robbins, Gary Dessler (1992) dalam bukunya
yang berjudul “Organizational Theory” (1990), memasukan budaya
organisasi kedalam teori organisasi. Sementara Budaya perusahaan merupakan
aplikasi dari budaya organisasi dan apabila diterapkan dilingkungan manajemen
akan melahirkan budaya manajemen. Budaya organisasi dengan budaya perusahan
sering disalingtukarkan sehingga terkadang dianggap sama, padahal berbeda dalam
penerapannya.
Kita tinjau Pengertian budaya itu sendiri
menurut : “The International Encyclopedia of the Social Science” (1972)
dpat dilihat menurut dua pendekatan yaitu pendekatan proses (process-pattern
theory, culture pattern as basic) didukung oleh Franz Boas
(1858-1942) dan Alfred Louis Kroeber (1876-1960). Bisa juga melalui
pendekatan structural-fungsional (structural-functional theory, social
structure as abasic) yang dikembangkan oleh Bonislaw Mallllinowski
(1884-1942) dan Radclife-Brown yang kemudians dari dua pendekatan itu Edward
Burnett Tylor (1832-1917 secara luas mendefinisikan budaya sebagai :”…culture
or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole
wich includes knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other
capabilities and habits acquired by man as a memmmber of society” atau
Budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa,
tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang
dijadikan miliknya melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72 ) sesuai
dengan kekhasan etnik, profesi dan kedaerahan”(Danim, 2003:148).
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari kita lebih
memahami budaya dari sudut sosiologi dan ilmu budaya, padahal ternyata ilmu
budaya bisa mempengaruhi terhadap perkembangan ilmu lainnya seperti ilmu
Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga ada beberapa istilah lain dari
istilah budaya seperti budaya organisasi (organization
culture) atau budaya kerja (work culture) ataupun biasa lebih
dikenal lebih spesifik lagi dengan istilah budaya perusahaan (corporate
culture). Sedangkan
dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah kultur pembelajaran sekolah
(school learning culture) atau Kultur akademis (Academic
culture)
Dalam dunia
pendidikan mengistilahkan budaya organisasi dengan istilah Kultur akademis yang
pada intinya mengatur para pendidik agar mereka memahami bagaimana seharusnya
bersikap terhadap profesinya, beradaptasi terhadap rekan kerja dan lingkungan
kerjanya serta berlaku reaktif terhadap kebijakan pimpinannya, sehingga terbentuklah
sebuah sistem nilai, kebiasaan (habits), citra akademis, ethos kerja
yang terinternalisasikan dalam kehidupannya sehingga mendorong adanya apresiasi
dirinya terhadap peningkatan prestasi kerja baik terbentuk oleh lingkungan
organisasi itu sendiri maupun dikuatkan secara organisatoris oleh pimpinan
akademis yang mengeluarkan sebuah kebijakan yang diterima ketika seseorang
masuk organisasi tersebut.
Fungsi pimpinan
sebagai pembentuk Kultur akademis diungkapkan oleh Peter, Dobin dan Johnson
(1996) bahwa :
Para pimpinan sekolah khususnya dalam
kapasitasnya menjalankan fungsinya sangat berperan penting dalam dua hal yaitu
: a). Mengkonsepsitualisasikan
visi dan perubahan dan b). Memiliki pengetahuan, keterampilan dan pemahaman
untuk mengtransformasikan visi menjadi etos dan kultur akademis kedalam aksi
riil (Danim, Ibid., P.74).
Pola pembiasaan dalam sebuah budaya sebagai
sebuah nilai yang diakuinya bisa membentuk sebuah pola prilaku dalam hal ini Ferdinand
Tonnies membagi kebiasaan kedalam beberapa pengertian antara
lain :
o
Kebiasaan sebagai suatu kenyataan objektif
sehari-hari yang merupakan sebuah kelajiman baik dalam sikap maupun dalam
penampilan sehari-hari.
o
Kebiasaan sebagai Kaidah yang diciptakan dirinya
sendiri yaitu kebiasaan yang lahir dari diri pendidik itu sendiri yang kemudian
menjadi ciri khas yang membedakan dengan yang lainnya.
o
Kebiasaan sebagai perwujudan kemauan untuk berbuat
sesuatu yaitu kebiasaan yang lahir dari motivasi dan inisatif yang mencerminkan
adanya prestasi pribadi.
·
Budaya dan kepribadian
Oleh
karena budaya secara individu itu berkorelasi dengan kepribadian, sehingga
budaya berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika berhadapan dengan
sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Didalamnya ada sikap
reaktif seorang pendidik terhadap perubahan kebijakan pemerintah dalam otonomi
kampus sebagaimana yang terjadi, dimana dengan adanya komersialisasi kampus
bisakah berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis penididik dalam
sehari-harinya.
Dilihat
dari unsur perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara
individu yang satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara
profesi yang satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan
seorang dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional
dengan seorang amatiran.
Ciri khas ini
bisa diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga
sebagai hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga
dianggap sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan
bersifat abstrak. Kita lihat pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof.
Dr. Soerjono Soekanto mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system
nilai yang dianut seseorang pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi
abstrak tentang baik dan buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh
suatu organisasi yang diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing
maupun re-organizing”(Ibid, Soerjono Soekanto, P. 174)
Budaya juga tercipta
karena adanya adopsi dari organisasi lainnya baik nilai, jargon, visi dan misi
maupun pola hidup dan citra organisasi yang dimanefestasikan oleh anggotanya.
Seorang pendidik sebagai pelaku organisasi jelas berperan sangat penting dalam
pencitraan kampus jauh lebih cepat karena secara langsung berhadapan dengan
mahasiswa yang bertindak sebagai promotor pencitraan di masyarakat sementara
nilai pencitraan sebuah organisasi diambil melalui adanya pembaharuan maupun
pola reduksi langsung dari organisasi sejenis yang berpengaruh dalam dunia
pendidikan.
Sebuah nilai budaya yang merupakan sebuah sistem
bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi untuk bergerak didalam
meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya terbentuknya budaya yang kuat
yang bisa mempengaruhi. McKenna dan Beech berpendapat bahwa : „Budaya
yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi organisasi dalam hal
efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang tepat untuk
membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang berlaku
mengakomodasikan ketahanan“( McKenna, etal, Terj. Toto Budi Santoso
, 2002: 19)
Sedang menurut Talizuduhu Ndraha
mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai budaya yang
dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin jelas disosialisasikan
dan diwariskan dan berpengaruh terhadap lingkungan dan prilaku manusia”(
Ndraha, 2003:123).
Budaya yang kuat
akan mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam
hal ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap
sistem prilaku para pendidik dan staf dibawahnya baik didalam organisasi maupun
diluar organisasi.
Sekali lagi
kalau Budaya hanya sebuah asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan
secara resmi tetapi sudah teradopsi dari masukan internal anggota organisasi
lainnya. Vijay Sathe mendefinisikan budaya sebagai “The sets of
important assumption (opten unstated) that member of a community share in
common” ( Sathe, 1985: 18) Begitu juga budaya
sebagai sebuah asumsi dasar dalam pembentukan karakter individu baik dalam
beradaptasi keluar maupun berintegrasi kedalam organisasi lebih luas
diungkapkan oleh Edgar H. Schein bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai
:
“A pattern of share
basic assumption that the group learner as it solved its problems of external
adaptation anda internal integration, that has worked well enough to be
considered valid and therefore, to be taught to new members as the correct way
to perceive, think and feel in relation to these problems”.
( Schein, 1992:16)
( Schein, 1992:16)
Secara lengkap Budaya bisa merupakan
nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang diambil dari asumsi dasar sebuah
organiasasi yang kemudian diinternalisasikan oleh anggotanya. Seorang professional yang
berkarakter dan kuat kulturnya akan meningkatkan kinerjanya dalam organisasi
dan secara sekaligus meningkatkan citra dirinya.
·
Organisasi
dan budaya
Membahas
budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi itu sendiri dan dapat
kita lihat beberapa pendapat tentang organisasi yang salah satunya diungkapkan
Stephen P. Robbins yang mendefinisikan organisasi sebagai “…A consciously
coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary that
function or relatively continous basis to achieve a common goal or set of
goal”. ( Robbins, 1990: 4) Sedangkan Waren B. Brown dan Dennis J. Moberg
mendefinisikan organisasi sebagai “…. A relatively
permanent social entities characterized by goal oriented behavior,
specialization and structure”(Brown,etal,1980:6)
Begitu juga pendapat dari Chester I. Bernard dari kutipan Etzioni
dimana organisasi diartikan sebagai “Cooperation of two or more persons, a
system of conciously coordinated personell activities or forces”(
Etzioni, 1961:14.)
Sehingga organisasi diatas pada dasarnya
apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input)
dan luaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism
yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa
dalam kondisi sakit (when an organization gets sick). Sehingga organisasi
dianggap Sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek
anatomic), pola kehidupan (aspek fisiologis) dan system budaya (aspek
kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.
Dari pengertian Organisasi sebagai output
(luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja
ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis. Untuk lebih
menyesuaikan dengan spesifikasi penelitian penulis mengistilahkan budaya
organisasi dengan istilah budaya akademis.
Menurut
Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai “Suatu sistem makna yang
dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi
lain”(Umar Nimran, 1996: 11)
Sedangkan Griffin
dan Ebbert (Ibid, 1996:11) dari kutipan Umar Nimran Budaya
organisasi atau bisa diartikan sebagai “Pengalaman, sejarah, keyakinan dan
norma-norma bersama yang menjadi ciri perusahaan/organisasi” Sementara Taliziduhu
Ndraha Mengartikan Budaya organisasi sebagai “Potret atau rekaman hasil
proses budaya yang berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat
ini”( op.cit , Ndraha, P. 102) Lebih luas lagi definisi yang diungkapkan
oleh Piti Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya “How to built a corporate
culture” mengartikan budaya organisasi sebagai :
A set
of basic assumption and beliefs that are shared by members of an organization,
being developed as they learn to cope with problems of external adaptation and
internal integration.( Pithi Amnuai dari
kutipan Ndraha, p.102)
(Seperangkat asumsi dan keyakinan dasar
yang dterima anggota dari sebuah organisasi yang dikembangkan melalui proses
belajar dari masalah penyesuaian dari luar dan integarasi dari dalam)
Hal yang sama diungkapkan oleh Edgar H.
Schein (1992) dalam bukunya “Organizational Culture and Leadershif”
mangartikan budaya organisasi lebih luas sebagai :
“ …A patern of shared basic assumptions that the group learned as it
solved its problems of external adaptation and internal integration, that has
worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new
members as the correct way to perceive, think and feel in relation to these
problems.( loc.cit, Schein, P.16)
(“… Suatu pola sumsi
dasar yang ditemukan, digali dan dikembangkan oleh sekelompok orang sebagai
pengalaman memecahkan permasalahan, penyesuaian terhadap faktor ekstern maupun
integrasi intern yang berjalan dengan penuh makna, sehingga perlu untuk
diajarkan kepada para anggota baru agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran
maupun perasaan yang tepat dalam mengahdapi problema organisasi tersebut).
Sedangkan
menurut Moorhead dan Griffin (1992) budaya organisasi diartikan
sebagai :
Seperangkat nilai yang diterima selalu benar,
yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana
yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima dan nilai-nilai
tersebut dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis lainnya(McKenna,etal, op.cit P.63).
Amnuai (1989) membatasi pengertian
budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh
anggota sebuah organisasi dari hasil proses belajar adaptasi terhadap
permasalahan ekternal dan integrasi permasalahan internal.
Organisasi
memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil adaptasi dan
pembuktian terhadap nilai yang dianut atau diistilahkan Schein (1992) dengan considered
valid yaitu nilai yang terbukti manfaatnya. selain itu juga bisa melalui
sikap kepemimpinan sebagai teaching by example atau menurut
Amnuai (1989) sebagai “through the leader him or herself” yaitu
pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun
kharisma.
·
Hal-hal yang mempengaruhi budaya organisasi
Menurut Piti Sithi-Amnuai bahwa : “being
developed as they learn to cope with problems of external adaptation anda
internal integration (Pembentukan budaya organisasi terjadi tatkala anggota
organisasi belajar menghadapi masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut
perubahan eksternal maupun masalah internal yang menyangkut persatuan dan
keutuhan organisasi).( Opcit Ndraha, P.76).
Pembentukan
budaya akademisi dalam organisasi diawali oleh para pendiri (founder)
institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
o
Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan
organisasi.
o
Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber baik
orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan teknologi.
o
Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan
organisasi dan tata kerja.
Menurut Vijay Sathe dengan melihat asumsi dasar
yang diterapkan dalam suatu organisasi yang membagi “Sharing Assumption”(
loc.cit Vijay Sathe, p. 18) Sharing berarti berbagi nilai yang sama atau
nilai yang sama dianut oleh sebanyak mungkin warga organisasi. Asumsi
nilai yang berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk
budaya organisasi yang dapat dibagi menjadi :
o
Share thing, misalnya pakaian seragam seperti pakaian Korpri
untuk PNS, batik PGRI yang menjadi ciri khas organisasi tersebut.
o
Share saying, misalnya ungkapan-ungkapan bersayap, ungkapan
slogan, pemeo seprti didunia pendidikan terdapat istilah Tut wuri handayani, Baldatun
thoyibatun wa robbun ghoffur diperguruan muhammadiyah.
o
Share doing, misalnya pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial
sebagai bentuk aktifitas rutin yang menjadi ciri khas suatu organisasi seperti
istilah mapalus di Sulawesi, nguopin di Bali.
o Share feeling,
turut bela sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda mahasiswa dan
lain sebagainya.
Sedangkan menurut pendapat dari Dr. Bennet Silalahi bahwa budaya organisasi harus diarahkan pada penciptaan nilai (Values) yang pada intinya faktor yang terkandung dalam budaya organisasi.( Silalahi,2004:8) harus mencakup faktor-faktor antara lain : Keyakinan, Nilai, Norma, Gaya, Kredo dan Keyakinan terhadap kemampuan pekerja
Untuk
mewujudkan tertanamnya budaya organisasi tersebut harus didahului oleh adanya
integrasi atau kesatuan pandangan barulah pendekatan manajerial (Bennet,
loc.cit, p.43)
bisa
dilaksanakan antara lain berupa :
o Menciptakan bahasa yang sama dan warna konsep
yang muncul.
o Menentukan
batas-batas antar kelompok.
o Distribusi wewenang dan status.
o Mengembangkan
syariat, tharekat dan ma’rifat yang mendukung norma kebersamaan.
o Menentukan imbalan dan ganjaran
o Menjelaskan
perbedaan agama dan ideologi.
Selain share assumption dari Sathe, faktor value dan integrasi dari Bennet ada beberapa faktor pembentuk budaya organisasi lainnya dari hasil penelitian David Drennan selama sepuluh tahun telah ditemukan dua belas faktor pembentuk budaya organisasi /perusahaan/budaya kerja/budaya akdemis ( Republika, 27 Juli 1994:8) yaitu :
o
Pengaruh dari pimpinan /pihak yayasan yang
dominan
o
Sejarah dan tradisi organisasi yang cukup lama.
o
Teknologi, produksi dan jasa
o Industri dan
kompetisinya/ persaingan.
o Pelanggan/stakehoulder akademis
o Harapan perusahaan/organisasi
o Sistem informasi dan kontrol
o Peraturan dan lingkungan perusahaan
o Prosedur dan kebijakan
o Sistem imbalan dan pengukuran
o Organisasi dan sumber daya
o
Tujuan,
nilai dan motto.
·
Budaya
dengan profesionalisme
Dalam
perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada keterkaitan antara budaya dengan
disain organisasi sesuai dengan design culture yang akan diterapkan.
Untuk memahami disain organisasi tersebut, Harrison ( McKenna, etal, 2002:
65) membagi empat tipe budaya organisasi :
o Budaya kekuasaan (Power culture).
Budaya ini lebih
mempokuskan sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak
dalam cara memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti
esepsi dan keinginan anggota suatu organisasi.
Seorang karyawan butuh
adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan seluruh
perintah dan kebijakannya. Kerena
hal ini menyangkut kepercayaan dan sikap mental tegas untuk memajukan institusi
organisasi. Kelajiman yang masih menganut manajemen keluarga, peranan pemilik
institusi begitu dominan dalam pengendalian sebuah kebijakan terkadang
melupakan nilai profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab
jatuh dan mundurnya organisasi.
o Budaya peran (Role culture).
Budaya ini ada
kaitannya dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan peran/jabatan/posisi
spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan mengastabilkan sistem.
Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan status/posisi/peranan yang jelas
inilah akan mendorong terbentuknya budaya positif yang jelas akan membantu
mengstabilkan suatu organisasi. Hampir semua orang menginginkan suatu peranan dan status yang jelas
dalam organisasi.
o Budaya pendukung (Support culture)
Budaya dimana
didalamnya ada kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang
mengusahakan terjadinya integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam
organisasi tersebut. Selain budaya peran dalam menginternalisasikan suatu
budaya perlu adanya budaya pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan
keyakinan anggota dibawah. Budaya pendukung telah ditentukan oleh pihak
pimpinan ketika organisasi/institusi tersebut didirikan oleh pendirinya yang
dituangkan dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran antara struktur,
strategi dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan
dengan menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education)
o
Budaya
prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan
pada dorongan individu dalam organisasi dalam suasana yang mendorong eksepsi
diri dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada
keberhasilan dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi
tentang independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan
pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi
yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
·
Karakteristik budaya organisasi.
Untuk menentukan
indikator secara pasti mengenai budaya organisasi jauh lebih sulit tetapi
penulis mengambil dari beberapa pendapat para ahli mengenai indikator yang
menentukan budaya organisasi.
Khun Chin
Sophonpanich memasukan budaya pribadi ke dalam Bank Bangkok 50 tahun yang lalu
dengan beberapa indikator antara lain :
o Ketekunan (dilligency),
o Ketulusan (sincerity),
o Kesabaran (patience) dan
o Kewirausahaan (entrepreneurship).
Sedangkan Amnuai dan Schien membagi budaya
organisasi kedalam beberapa indikator yaitu antara lain
o Aspek kualitatif (basic)
o Aspek kuantitatif (shared) dan aspek
terbentuknya
o Aspek komponen (assumption dan beliefs),
o Aspek adaptasi eksternal (eksternal
adaptation)
o Aspek Integrasi internal (internal
integration) sebagai proses penyatuan budaya melalui asimilasi dari budaya
organisasi yang masuk dan berpengaruh terhadap karakter anggota.
Selangkah lebih maju tinjauan dari Dr.Bennet
Silalahi yang melihat budaya kerja dapat dilihat dari sudut teologi dan deontology
(Silalahi, 2004:25-32) seperti pandangan filsafat Konfutse, etika
Kristen dan prinsip agama Islam. Kita tidak memungkiri pengaruh tiga agama ini
dalam percaturan peradaban dunia timur bahkan manajemen barat sudah mulai
memperhitungkannya sebagai manajemen alternatif yang didifusikan ke manajemen
barat setelah melihat kekuatan ekonomi Negara kuning seperti Cina, Jepang dan Korea sangat
kuat. Perimbangan kekuatan ras kuning Asia
yang diwakili Jepang, Korea dan Cina tentu saja tidak
bisa melupakan potensi kekuatan ekonomi negara-negara Islam yang dari jumlah
penduduknya cukup menjanjikan untuk menjadi pangsa pasar mereka.
Tinjauan ajaran Islam membagi
budaya kerja kedalam beberapa indikator antara lain :
o Adanya kerja keras dan kerjasama (QS. Al-Insyiqoq
: 6, Al-Mulk : 15, An-Naba : 11 dan At-taubah : 105))
o Dalam setiap pekerjaan harus
unggul/professional/menjadi khalifah (An-Nahl : 93. Az-Zumar : 9,
Al-An’am : 165)
o Harus mendayagunakan hikmah ilahi (Al-Baqoroh
: 13)
o Harus jujur,
tidak saling menipu, harus bekerjasama saling menguntungkan.
o Kelemah lembutan.
o Kebersihan
o Tidak mengotak-kotakan diri/ukhuwah
o Menentang permusuhan.
Sedangkan menurut ajaran konghucu
budaya kerja ditinjau dari budaya Ren yang terdiri dari lima sifat mulia manusia antara lain :
o Ren (hubungan
industrial supaya mengutamakan keterbatasan, kebutuhan dan kualitas hidup
manusia)
o Yi (tipu
muslihat, timbangan yang tidak benar, kualitas barang dan jasa supaya
disngkirkan atau dibenarkan agar tidak merugikan para stakehoulder)
o Li (Instruksi
kerja, penilaian unjuk kerja, peranan manajemen harus dilandaskan pada
kesopanan dan kesantunan)
o Zhi (kearifan
dan kebijaksanaan dituntut dalam perencanaan, pengambilan keputusan dan
ketatalaksanaan kerja, khususnya dalam perencanaan strategi dan kebijakan)
o
Xing (setiap manajer dan karyawan harus saling
dapat dipercaya)
Lebih jelas lagi diungkapkan oleh Desmond graves (1986:126) mencatat sepuluh item research tool (dimensi kriteria, indikator) budaya organisasi yaitu :
Lebih jelas lagi diungkapkan oleh Desmond graves (1986:126) mencatat sepuluh item research tool (dimensi kriteria, indikator) budaya organisasi yaitu :
o Jaminan diri (Self assurance)
o Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)
o Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory
ability)
o Kecerdasan emosi (Intelegence)
o Inisatif (Initiative)
o Kebutuhan akan pencapaian prestasi (Need for
achievement)
o Kebutuhan akan aktualisasi diri (Need for
self actualization)
o Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need for
power)
o Kebutuhan akan penghargaan (Need for reward)
o Kebutuhan akan rasa aman (Need for security).
No comments:
Post a Comment